Sky Rider

Sky Rider
apa kau siap untuk berpetualang?

31 Des 2012

Chapter 1 : Kakak...

Alexander Henry yang biasa dipanggil Alex lahir pada 2028 tahun langit. Ia adalah anak kedua dari George Henry, seorang pandai besi miskin yang sehari-harinya membuat dan memperbaiki peralatan pertanian, perkebunan, dan peternakan milik para penduduk desa. Ibunya, Rose Henry hanyalah seorang ibu rumah tangga biasa. Bersama Wallace Henry, anak pertama mereka, keluarga itu tinggal di sebuah rumah kecil yang usang di pulau dandelia, sebuah pulau kecil di bagian paling selatan kerajaan Novaron. Meski begitu, mereka amat bahagia dengan kehidupan mereka.

dibalik usianya yang masih 7 tahun, Alex adalah seorang anak dengan cita-cita yang amat besar. sejak mendengar kisah-kisah dari ayahnya, ia ingin sekali suatu saat bisa menjadi seorang skyrider hebat yang mampu mengubah & menyelamatkan dunia. Selain bermain di padang bunga dandelion bersama teman-teman sebayanya, Alex senang berlatih tanding dengan pedang kayu bersama kakak laki-lakinya, Wallace. Ayahnya pernah berkata bahwa jika ingin menjadi skyrider yang hebat, ia harus bisa menjadi seorang petarung yang tangguh. Meskipun sebenarnya... Alex tidak pernah sekalipun melihat monfrey dalam hidupnya.

sumber gambar : deviantart.com
2035 tahun langit
Padang bunga Dandelion, pulau Dandelia, Kerajaan Novaron.

Selain bermain pedang kayu, Alex bersama kakaknya senang bersantai dan berjemur di padang bunga dandelion di samping rumahnya di pagi hari bermandikan sinar mentari pagi yang hangat. Seperti di pagi yang damai ini, kumpulan bunga berwarna kuning cerah yang indah itu menemani mereka yang sedang berbaring memejamkan mata, menikmati indahnya suasana padang bunga di pagi itu. Rambut mereka yang kecoklatan berbaur dengan bunga-bunga dandelion saat Alex dan Wallace berbaring di bawah pohon woodstrong yang besar dan rindang yang tertanam kokoh diantara padang bunga yang indah itu. Ditemani oleh suara dari hembusan angin lembut yang membuat bunga-bunga itu bergerak-gerak nampak bahagia yang membelai hingga permukaan kulit mereka berdua, wewangian khas dandelion yang sedap menusuk hidung mereka. Diiringi kicauan dari burung-burung kecil seperti burung Cootlung yang memiliki kicauan yang sangat indah, burung Berflow yang senang memakan rumput-rumput liar sekitar padang bunga itu, dan burung-burung kecil lainnya. Selain bersantai dan berjemur, Alex dan Wallace juga suka bermain di tempat itu.

"kakak..." ucap Alex, setelah ia membuka matanya dan duduk di sebelah kakaknya yang masih terbaring santai.
"hmm?" Wallace pun membuka matanya, ia duduk di samping adiknya itu.
"aku bahagia saat menghabiskan waktu bersamamu kak, bermain bersama, bersantai bersama, berlatih tanding pedang kayu bersama, aku sangat menikmatinya, aku sangat bersyukur memiliki kakak yang sangat baik sepertimu"
Wallace hanya menjawab pernyataan adiknya itu dengan senyuman yang ramah.

Alex sangat senang melewati hari-hari yang indah bersama kakaknya yang telah ia jalani selama ia hidup. Hingga pada suatu malam saat makan malam keluarga...

matahari sudah terbenam beberapa saat yang lalu, seperti biasa di rumah kecil yang sudah tua itu keluarga Henry makan malam bersama ditemanii oleh sinar dari tungku perapian dan sebuah lentera yang menggantung di atas meja makan. Di meja makan kayu tua yang sudah rapuh itu, mereka berempat makan malam bersama sambil berbincang.
"ayah... ibu..." Wallace berkata gugup sambil menyantap sup kaldu hidangan makan malamnya.
"iya nak?" jawab kedua orangtuanya di saat yang hampir bersamaaan.
Wallace mencoba mengumpulkan segala keberanian yang ia punya untuk mengatakan sesuatu pada kedua orang tuanya "aku.. aku sudah cukup besar, umurku sudah 17 tahun sekarang" ia mengatakannya dengan gugup.
"apa yang sebenarnya ingin kau utarakan nak? ayo ucapkan saja" jawab ayahnya mencoba mencairkan suasana.
"aku sudah besar dan tidak ingin menjadi beban bagi kalian berdua, aku ingin bekerja sendiri, aku akan mencari pekerjaan di Ibukota, di kota Azalea." Wallace mengatakannya dengan terbata-bata.
Semuanya terkejut, tiba-tiba Alex yang sedang menyantap makanan dengan lahap berhenti menyantap makanannya dan terdiam.
"apa kau yakin akan hal ini nak? apa kau sudah siap?" tanya ibunya yang terdengar khawatir.
"aku sudah siap untuk hal itu bu" jawab Wallace mantap.
"berkata memang lebih mudah daripada melakukannya nak, memangnya apa yang akan kau lakukan di kota besar seperti ibukota Azalea?"
"mungkin aku akan mendaftarkan diri menjadi prajurit disana, kudengar upah bagi seorang prajurit sekarang lumayan besar"
"apa prajurit?!?" ibunya kaget mendengar hal itu. "kau belum siap nak! George, jangan diam saja, katakan sesuatu!"
hening sejenak. Kemudian ayahnya angkat bicara "baiklah, kalau itu memang maumu, asal kau jangan menyesali apapun keputusanmu nanti"
"George! kurasa dia masih belum siap untuk merantau!" Rose protes kepada suaminya.
"yang memutuskan Wallace siap atau tidak bukanlah kita Rose, tapi Wallace sendiri."
"terserahlah...!" Rose meninggalkan ruang makan.
tiba-tiba Alex yang belum menghabiskan sup kaldunya berlari menuju kamarnya tanpa sepatah kata pun.
"Alex!" George berusaha memanggil anak keduanya itu.
"biar aku saja yang menangani Alex ayah, akulah yang harusnya bertanggung jawab dalam hal ini, akulah yang harus menenangkannya."

Alex tertelungkup di tempat tidur membenamkan wajahnya ke bantal di ranjang tidurnya, ia menangis sedih. Sesaat kemudian Wallace masuk ke kamarnya dengan membuka pintu kamarnya yang gelap dengan perlahan.
"hei Alex..." sapa Wallace lembut sambil duduk di samping Alex di tempat tidur.
Alex tak menjawab dan masih terus menangis di bantal.
"Alex, ayolah lihatlah aku!" ucap Wallace sambil mengusap kepala Alex.
"Alex, kau laki-laki kan!" Wallace setengah membentak.
Alex pun mengangkat wajahnya dan duduk di samping Wallace namun masih terisak.
Sambil merangkul adiknya, Wallace pun berkata "kau bilang suatu saat kau akan menjadi Skyrider kan?"
"te...tentu... saja... ka..." jawab Alex masih terisak.
"aku percaya itu Alex, tanpa diriku pun kau bisa berlatih dengan caramu untuk bisa menjadi skyrider suatu hari nanti." Wallace menatap adiknya dalam-dalam.
"ingatlah Alex, seorang lelaki tidak boleh menangis seperti ini." Wallace mengusap air mata adiknya. Alex pun mulai berhenti menangis.
"aku percaya suatu saat kau akan menemukan monto yang akan menjadi temanmu, dan kau akan menjadi skyrider yang hebat Alex."
"aku akan pergi ke kota Azalea besok, tapi bukan berarti kita akan berpisah selamanya kan?" Wallace tersenyum hangat pada adiknya. Ia menghapus air mata Alex yang membasahi pipi adiknya itu dengan jemari tangannya. Alex pun berhenti menangis dan memeluk erat kakaknya.
"ku percayakan ayah dan ibu padamu Alex, aku percaya kau bisa melindungi mereka"
"baiklah kak,..... terima kasih sudah percaya padaku" jawab Alex mantap.

*** 

Keesokan harinya, Wallace beserta kedua orangtua dan adiknya berangkat ke pelabuhan kraetern dengan menaiki gerobak yang ditarik oleh seekor kerbau yang besar. Siang itu di pelabuhan kraetern, cahaya matahari yang terik menemani keluarga kecil yang beranggotakan 4 orang itu. kala itu, hanya terlihat enam airship yang sedang berlabuh dan beberapa airboat kecil yang ditambatkan dengan rantai besi ketika awan bergulung-gulung disekitar pinggiran pelabuhan dan beriak-riak. Sebelum naik ke airship yang akan berangkat menuju kota Azalea tersebut, Rose dan George berkeliling pelabuhan untuk membeli beberapa perlengkapan dan perbekalan yang dibutuhkan Wallace selama perjalanan jauh ke timur menuju ibukota. Sementara Wallace menemani Alex yang ingin berkeliling di sekitar pinggiran pelabuhan. Mereka duduk di salah satu bangku di pelabuhan menghadap ke langit luas yang dipenuhi dengan awan-awan cummulus, terkadang gerombolan ikan flofish dan beberapa burung putih penjelajah, jourwing terlihat terbang bermigrasi ke arah barat dengan bergerombol. Wallace ingin menyampaikan sesuatu kepada adik tercintanya.
"Alex... aku ingin kau memiliki ini" Wallace mengikatkan scarf berwarna merah kesayangannya ke leher Alex. Sebelum Alex sempat berkata, Wallace berucap sambil tersenyum.
"ini untukmu Alex, ini adalah bukti kepercayaanku padamu, aku ingin kau menjaganya, jika suatu saat kau ingin mengembalikan scarf ini, kau harus menjadi skyrider yang hebat."
"terima kasih, kakak... aku pasti akan mengembalikannya suatu hari nanti"
"ingatlah Alex, seorang lelaki harus menepati janjinya"Alex pun tersenyum, a memeluk erat Wallace.
 Tak lama, ayah dan ibu mereka datang menghampiri mereka.
"Wallace! airshipnya akan segera berangkat!" seru ibunya sambil tergesa-gesa memberikan perbekalan yang telah ia tambatkan oleh sebuah kain.
"cepat nak!" ayahnya memberikan beberapa keping koin Realmis untuk anaknya.
Wallace memeluk kedua orang tuanya dan berkata lirih
"terima kasih untuk segalanya ayah...ibu..." kedua orangtuanya hanya tersenyum sambil menitikan air mata. Lalu ia berjongkok didepan adiknya yang juga tengah menitikan air mata. Ia mengacak-acak rambut adiknya tersebut sambil tersenyum. Wallace pun berpamitan dan langsung berlari menuju airship yang akan ia tumpangi. Dengan dua buah propeller yang masing-masing dipasang disisi kanan dan kiri kapal, Airship kayu yang besar itu pun pergi berlayar puluhan mil ke arah timur, menuju ibukota Azalea.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pembaca yang baik adalah pembaca yang selalu meninggalkan komentar (^o^)