Sky Rider

Sky Rider
apa kau siap untuk berpetualang?

31 Des 2012

Chapter 2 : Gadis Dandelion

2038 tahun langit

Alex menerima surat dari kota Azalea beberapa hari yang lalu dari Jock, satu-satunya tukang pos di pulau Dandelia. Meski sudah berumur 10 tahun; Alex belum bisa membaca; orangtuanya tidak memiliki biaya untuk menyekolahkannya di sekolah lokal, jadi ayahnya membacakan surat itu untuknya. Seperti yang mereka duga dan mereka harapkan, surat itu berasal dari Wallace yang menceritakan bahwa ia sudah diterima di pelatihan prajurit pemula di kerajaan Novaron, sekarang ia sedang berlatih untuk menjadi seorang ksatria ahli pedang. Kabar itu disambut gembira oleh Alex dan kedua orang tuanya.
Tak terasa sudah tiga tahun berlalu sejak ia ditinggal kakaknya...

***

Padang bunga Dandelion, pulau Dandelia, kerajaan Novaron.

Di suatu senja, kala langit berwarna jingga, dibawah sebatang pohon woodstrong yang rindang, diantara kumpulan bunga-bunga dandelion muda yang berwarna kuning cerah Alex duduk sendirian, ia merenung. Sudah tiga tahun yang lalu sejak terakhir kali ia bertemu kakaknya; semenjak terakhir kali ia berlatih tanding pedang kayu bersama kakaknya; semenjak ia berbaring di padang bunga ini dengan kakaknya. Belakangan ini, Alex terlihat lebih murung dari sebelumnya. Hari-hari yang ia lewati selama tiga tahun belakangan terasa hampa tanpa kehadiran kakaknya yang sangat ia kagumi itu. Sambil berbaring santai di padang bunga, ia terus memegangi dan menatap scarf merah pemberian dari kakaknya tiga tahun yang lalu sambil berkata dalam hati kapan aku bisa mengembalikan ini pada kakak? ia bilang aku bisa mengembalikannya saat sudah menjadi skyrider yang hebat? bahkan melihat monfrey saja, aku tidak pernah...
Saat ia sedang asyik bersantai, Alex yang sedang berbaring terlentang menatap langit sore terkejut ketika tiba-tiba ada seorang anak perempuan manis yang terlihat seumuran dengannya menatap wajahnya dengan serius dari arah belakang. Alex pun spontan duduk dan mengamati gadis itu. Alex belum pernah melihat gadis kecil itu. Gadis itu terlihat manis dengan rambut kuningnya yang pendek yang warnanya sangat mirip dengan warna bunga dandelion muda yang baru mekar; matanya begitu biru kemilau seperti batu safir yang indah dan ia memakai gaun berwarna coklat muda yang membuatnya terlihat anggun. Alex kebingungan dengan kemunculan anak perempuan ini yang datang secara tiba-tiba. Perlahan, Alex bergerak mundur hingga punggungnya menyentuh batang pohon woodstrong. Anak perempuan itu hanya tersenyum, ia duduk di sebelah Alex dan berkata penasaran.
"hai, apa yang sedang kau lakukan?" tanya gadis kecil itu yang mendekati Alex dengan perlahan.
"a...aku...ha...hanya..... menatap langit..." jawab Alex gugup, berusaha menjauh, tapi pohon woodstrong menghalangi pergerakan punggungnya. gadis ini aneh pikirnya.
"menatap langit? kau aneh" ucap perempuan itu polos.
"aneh? kurasa kau yang aneh, datang tiba-tiba mengagetkanku, aku bahkan tidak tau siapa kau, kau bukan anak dari daerah ini kan?"
"hahaha... iya, bagaimana kau tau?" gadis itu tertawa kecil.
"tentu saja aku tahu, dandelia adalah pulau yang sangat kecil dan aku sudah kenal dengan seluruh anak-anak seusiaku di pulau ini, maka dari itu aku tahu pasti, kau bukan berasal dari sini. Kau berasal dari mana?"
"hmm... aku... berasal dari kota Azalea" jawabnya yang tiba-tiba berubah nada menjadi gugup.
"Azalea? ibukota?" tiba-tiba Alex bersemangat mendengar nama kota itu. "kudengar disana terdapat banyak gedung besar dan kudengar disana ada istana kerajaan Utopia yang sangat besar, dan..." tiba-tiba gadis itu menutup mulut Alex dengan tangan kanannya. Lalu ia menjawab "ya, semua yang kau katakan memang benar, Azalea yang begini, Azalea yang begitu..." belum selesai gadis itu berbicara, kata-katanya itu terpotong oleh Alex.
"lalu apa yang dilakukan anak kota sepertimu di pulau desa pulau kecil kami ini sendirian?" tanya Alex penasaran.
hening sejenak, hingga gadis kecil itu membuka mulutnya kembali.
"bunga ini..." jawab gadis itu.
"bunga ini?" Alex terheran.
"kudengar dari ayahku bahwa di desa dandelia ini terdapat padang bunga dandelion yang sangat indah, aku jadi penasaran dan ingin melihatnya, aku senang sekali bisa ada disini dan melihat padang bunga kuning yang indah ini secara langsung dengan mata ku sendiri" mata gadis kecil itu berkaca-kaca saat ia menatap jauh ke arah barat padang bunga dandelion yang terbentang dibawah indahnya langit sore.
"ya, padang bunga ini memang indah, tempat ini adalah yang tempat paling aku sukai" Alex pun mengikuti pandangan gadis kecil itu. Ia menatap jauh ke arah padang bunga yang disinari matahari yang akan terbenam.
"hey..." ujar gadis itu tiba-tiba mengalihkan pandangannya dari pemandangan matahari terbenam yang indah itu. Alex pun menoleh kerahnya. Gadis manis itu menatap tajam mata Alex yang membalas pandangannya.
"ap..apa...?" entah mengapa tiba-tiba Alex merasa gugup.
Suasana hening sejenak, wajah gadis itu tertunduk dan tak menjawab pertanyaan dari Alex. Alex yang masih merasa agak gugup pun berusaha mencari-cari pembicaraan, perbuatan, ataupun alasan agar suasana menjadi tidak semakin kaku.
"matahari sudah tenggelam, hari mulai gelap, aku akan pulang ke rumah... sebaiknya kau juga kembali ke tempat orang tuamu" Alex bangkit dari tempat ia duduk. Namun ketika ia berbalik hendak menuju rumahnya, tangan kanan Alex di tahan dan digenggam erat-erat oleh tangan kanan dari gadis itu. Alex sedikit terhenyak ketika tangannya di tahan dan ditarik secara tiba-tiba oleh gadis itu. Dilihatnya gadis itu masih terduduk menghadap barat dengan kepala yang masih tertunduk.
"ma...maaf... a...aku.... harus pulang... or...orang tua ku.... pasti sedang menungguku sekarang..." kata-kata Alex terpotong oleh permintaan gadis itu.
"bo..bolehkah.... aku... ikut denganmu? malam ini saja... ku... kumohon... aku sedang tidak ingin pulang sekarang...." wajahnya terangkat; matanya berkaca-kaca memandang dalam-dalam ke arah mata Alex. Alex merasa sangat iba melihat permohonan dari gadis itu. Ia merasa tidak tega melihat pandangan yang memelas darinya; rasanya tidak benar jika ia meninggalkannya di tempat ini sendirian di bawah langit malam.
"tentu saja... kau boleh tinggal di rumahku sampai kapan pun kau mau" balas Alex dengan wajah yang ramah. Gadis itu pun berdiri, kemudian ia tersenyum manis yang membuat Alex terpaku untuk sesaat; tangan kanannya masih menggenggam erat tangan Alex.
"terima kasih banyak kau baik sekali tuan....?" tanyanya malu.
"Alexander Henry, panggil saja aku Alex, dan jangan sebut aku tuan, aku sama sekali tidak layak dipanggil dengan sebutan itu, hehehe..." kata Alex cengengesan sambil menggaruk-garuk bagian belakang kepalanya. "o...iya, kau sendiri? siapa namamu nona?" tanya Alex.
"Namaku Altheria Vol...." tiba-tiba saja ia terdiam sejenak, lalu kembali melanjutkan "i...iya... Altheria saja..." jawabnya gugup, ia mengangkat wajahnya dan menatap Alex dalam-dalam "salam kenal Alex" Gadis itu kembali tersenyum. Mereka beridiri saling berhadapan kedua tangan mereka saling menggenggam.
"sebaiknya kita pulang ke rumahku sekarang juga sebelum langit semakin gelap" ajak Alex.
"iya, baiklah..."
Mereka berdua berlari-lari kecil menuju rumah Alex yang sederhana.

Alex langsung membuka pintu rumahnya yang terlihat akan roboh itu. Ia masuk ke dalam rumah diikuti Altheria tepat dibelakangnya.
"aku pulang..." teriak Alex yang terdengar ceria.
"dari mana saja kau nak?" tanya George yang sedang menyiapkan mangkuk dan sendok di atas meja kayu tua yang sudah lapuk di ruang makan rumah itu.
"ayah, ibu, aku membawa seorang teman baru!"
"siapa dia nak?" tanya George dan Rose disaat hampir bersamaan. Mereka berdua terpana melihat seorang gadis anggun dengan busana bak bangsawan.
"duduklah Alex, dan kau juga gadis cantik..." sapa George yang mengajak mereka duduk di meja makan. Altheria mengangguk pelan malu-malu. Ia berjalan perlahan menuju meja makan mengikuti langkah-langkah Alex, Altheria pun duduk di sebelahnya.
"siapa namamu gadis kecil?" tanya George dengan senyuman hangat dan dalam sikap yang amat ramah.
"namaku... Altheria tuan George..." wajahnya tertunduk; tangan kanannya memain-mainkan sendok dan mangkuk. Ia telah mengetahui nama orang tua Alex saat ia bertanya padanya sebelum masuk rumah.
Altheria? apakah mungkin Altheria 'yang itu?' pikir George. Rose yang juga mendengar gadis itu menyebutkan namanya terhenti sejenak saat mengaduk-ngadukan sup jagung yang akan ia hidangkan.
"ngomong-ngomong Altheria, kau berasal dari mana? di mana orangtua & rumahmu?" Altheria terkejut mendengar serangkaian pertanyaan dari George, ia tak menyangka di desa yang terpencil ini ada seseorang yang tampaknya mengetahui identitas dirinya. Namun Altheria berusaha untuk tenang dan tidak terlihat panik di depan keluarga itu. Gadis itu pun mengumpulkan seluruh keberaniannya untuk memperkenalkan dirinya sendiri.
"aku berasal dari pulau utama Novaron, tepatnya di kota Azalea aku pun tinggal bersama kedua orangtua ku disana..." ia terdiam sejenak, "tetapi saat ini, aku hanya ingin pergi menjauh dulu dari mereka untuk sementara waktu"
kepalanya menunduk menatap mangkuk kosong yang ada di hadapannya. Suasana mendadak hening, hingga akhirnya Rose mencairkan suasana.
"kalian semua lapar kan?" tanya Rose dengan senyuman ramahnya. Ia menuangkan sup jagung yang masih panas itu ke empat mangkuk yang ada di atas meja.
"terima kasih nyonya Rose..." Altheria mangangkat wajahnya dan membalas Rose dengan senyuman manis. Setelah Rose membagikan sup jagung itu ke seluruh mangkuk yang tersedia, ia pun ikut duduk di meja makan tersebut bersama mereka, ia duduk di sebelah George; di depannya Altheria sedang memainkan sendok saat menatap sup itu tajam hingga mengerutkan alisnya. Melihat Altheria yang terlihat ragu untuk memakan sup jagung itu, Alex pun menoleh padanya.
"Altheria, makanlah... masakan ibuku sangat enak! kau pasti akan suka!" Altheria pun menoleh pada Alex yang melanjutkan santapan makan malamnya. Ia kembali menatap sup yang ada dihadapannya lalu ia pun mulai mencoba mencicipi sup itu sedikit. Alex dan keluarganya terdiam sejenak melihat Altheria yang mulai mencoba sup itu. Mereka semua penasaran dengan reaksi Altheria yang terlihat baru pertama kali melihat hidangan sesederhana ini selama hidupnya.
"ini..." Altheria berkata pelan, hampir tak terdengar; ia kembali tertunduk "ini sangat enak nyonya Rose! aku menyukainya!" serunya sambil melanjutkan makan malamnya dengan lahap. Semua orang tampak gembira saat makan malam itu. Mereka berempat berbincang-bincang dengan riang di sepanjang makan malam...

malam sudah semakin larut, Alex sudah tertidur di kamarnya, begitu pula dengan Altheria yang juga telah terlelap di kamar yang dulu ditempati oleh Wallace. Sementara George dan Rose masih terjaga di ranjang mereka dimana lentera masih menyala di kamar itu; mereka saling berbaring saling berhadapan.
"George, nama gadis itu adalah Altheria... apakah mungkin dia..."
"ya Rose, ternyata kau menyadarinya juga..." potong George sambil nyengir "tidak diragukan lagi dia adalah sang putri mahkota Altheria Volhane, putri dari raja kerajaan kita; Rosario Volhane" ia menghela nafas sejenak "Rambut berwarna kuning dandelion itu sangat mirip dengan rambut ibunya Marriette, dan juga matanya yang biru seperti batu safir yang kemilau mengingatkanku akan mata dari keturuhan asli Volhane, terakhir kali kulihat mata itu lebih dari 20 tahun yang lalu, saat terakhir kali aku melihat sang raja Novaron; raja dari negeri dimana kita tinggal sekarang."

"hey, Alex bangun! lihat, matahari sudah tinggi!" dengan semangat, Altheria menggoyang-goyangkan tubuh Alex yang masih tertidur pulas di tempat tidurnya. Alex tak sedikit pun membuka matanya, ia hanya bergeser sedikit di tempat tidurnya.
"bangun kau, dasar pemalas!" gadis kecil itu menarik selimut Alex dengan paksa namun ia hanya menggigil sejenak dan masih tetap melanjutkan tidurnya. Perlahan Altheria mendekati kepala Alex yang masih tertidur pulas itu. Altheria menatap wajah Alex dalam-dalam, wajahnya berada tepat beberapa senti didepan Alex, entah kenapa jantung Altheria tiba-tiba berdegup lebih kencang, kemudian tanpa ia sadari, salah satu tangannya mengelus dan membelai wajah Alex. Alex membuka matanya lebar-lebar, ia terkejut melihat seorang gadis tepat dihadapan wajahnya.
"aahhh!" mereka berdua berteriak bersamaan. Altheria yang sama kagetnya terjatuh ke belakang hingga badannya menyentuh lantai. Dengan cepat, Alex bangkit dari tidurnya, ia membantu Altheria yang terjatuh.
"maafkan aku yang sudah mengagetkanmu, kau tidak apa-apa Altheria?" tanya Alex yang khawatir sambil memegangi Altheria untuk membantu dia berdiri.
"a...aku... tidak apa-apa kok..." jawab Altheria yang masih shock.
"anak-anak...! cepat turun ke bawah, saatnya sarapan...!" teriak Rose yang sudah menyiapkan hidangan sarapan untuk empat orang.
"baik! kami akan segera kesana bu!" sahut Alex. "ayo Altheria!" seru Alex sambil berlarian, ia menggandeng tangan Altheria manuju ruang makan. Mereka pun menyantap sarapan pagi mereka sambil berbincang dan bercanda bersama.

Setelah bersantap sarapan pagi bersama kedua orangtuanya dan juga Atheria, Alex kembali berlatih pedang kayu di depan rumahnya; diantara rerumputan yang terhampar setelah tiga tahun tidak melakukannya. Kini ia berlatih bersama George sementara Altheria duduk di serambi rumah menonton latihan pedang kayu Ayah dan anak itu yang bertarung beberapa meter di depannya. Ditemani sinar matahari hangat yang menyinari hingga ke dalam rumah melalui jendela-jendela di rumah kecil itu, diiringi kicauan burung-burung cootlung yang bernyanyi dengan riang. Alex terlihat kaku ketika ia bertahan dari serangan-serangan yang dilancarkan ayahnya. Ia terlihat sangat kewalahan menghadapi setiap serangan dari ayahnya.
"kau payah nak! aku tidak menyangka selama tiga tahun kau tidak berlatih, kau bisa jadi sepayah ini!"teriak ayahnya dengan nada mengejek.
Alex menggeram, ia terlihat kesal namun ia berusaha untuk tidak mempedulikan ejekan ayahnya itu. Ia terus melakukan serangan membabi buta ke arah George yang dapat dengan mudah is tangkis. Altheria mulai terlihat khawatir saat melihat keadaan Alex yang semakin terdesak menghadapi George, Altheria menarik napas yang dalam lalu berteriak untuk menyemangati Alex.
"Alex! jangan menyerah!" teriaknya. Spontan Alex pun menoleh dan menatap ke arahnya, ia terdiam sesaat dan tidak menyadari George yang sedang mengayunkan pedang kayunya ke arah kepala Alex.
"Alex! awas!" teriak Altheria. Alex pun kembali melihat ke depan ia terkejut ketika pedang kayu milik George sudah tepat beberapa sentimeter diatas kepalanya. Ia berusaha untuk menangkis serangan itu namun ia terlambat. Pedang kayu itu pun tepat menghantam kepala Alex hingga ia terjatuh di antara rerumputan. Altheria yang khawatir berlarian menghampiri Alex yang terjatuh. Melihat anaknya yang terjatuh sambil memegangi kepalanya yang kesakitan, George hanya diam dan menarik nafas berat dan panjang.
"kau payah Alex, seharusnya kau serius saat berlatih, seharusnya kau berkonsentrasi saat bertanding, tak peduli kapanpun, dimanapun, atau siapapun yang kau lawan. Jangan biarkan emosi, pemikiran, perasaan, ataupun ego menguasai dirimu, kelemahanmu adalah kau belum bisa menguasai dirimu sendiri......" George memejamkan matanya, ia kembali menarik nafas panjang lalu kembali masuk ke dalam rumah tanpa sepatah kata pun.
"kau tidak apa-apa?" tanya Altheria yang duduk berlutut di dekat tubuh Alex yang masih terbaring. Terdengar nada kekhawatiran di setiap katanya.
"aku tidak apa-apa, hehe... ayahku memang terkadang keras saat mengajari sesuatu padaku" jawab Alex tersenyum. Ia berusaha untuk tidak terlihat lemah di depan Altheria. Ia pun mencoba untuk bangkit dan duduk di samping Altheria. Sambil meraba-raba bagian kepalanya yang sebelumnya dihantam oleh pedang-pedangan kayu.
"aw!" teriaknya ketika tangannya tak sengaja menyentuh bagian dahi kepalanya.
"biar kulihat dulu kepalamu Alex" Altheria yang masih khawatir mencoba untuh menyentuh bagian dahi yang memang terlihat memar.
"aw! jangan sentuh!" teriak Alex bernada tinggi. Lengannya spontan menangkis tangan Altheria yang meraba dahinya. Altheria pun menundukan wajahnya, ia merasa bersalah.
"ma...ma..afkan aku Alex..." ia menunduk memalingkan wajahnya dari Alex.
"hey...." sekarang Alex yang merasa bersalah. "Altheria..."gadis itu masih terdiam. Salah satu tangan Alex perlahan membelai rambut pendek Altheria yang berwarna kuning seperti bunga dandelion itu.
"Altheria maafkan aku yang telah berteriak hingga mengejutkanmu..." bujuk Alex lembut. Altheria pun mengangkat wajahnya dan menoleh ke arah Alex.
"ha...harusnya a...aku yang meminta maaf..... aku tidak tau bahwa memar di kepalamu begitu sakit..." di wajahnya tersirat bahwa ia masih merasa berasalah.
"jangan khawatir sekarang sudah tak terlalu sakit kok, hehehe..." balasnya dengan sedikit tawa. Namun Alex terkejut ketika sedang tertawa, tiba-tiba Altheria mengangkat wajahnya dan mengecup lembut dahi Alex yang memar. Untuk beberapa saat, Alex merasa waktu dan segala sesuatu yang ada di sekelilingnya terhenti seketika. Wajahnya merona merah; matanya terbelalak; mulutnya sedikit menganga; suara dan nafasnya terasa berat ketika ia rasakan bibir kecil itu mendarat di permukaan kulit dahinya. Ajaib! ia tak merasakan sakit sama sekali ketika kecupan itu mendarat di dahinya.

***

Kehadiran Altheria di keluarga miskin itu membuat hari-hari keluarga Henry menjadi lebih berwarna. George dan Rose yang sudah mengetahui siapa Altheria sebenarnya memilih untuk diam dan tidak memberitahu Alex karena mereka takut akan merubah kebahagiaan yang sedang Alex rasakan saat ini. Mereka berdua melihat Alex yang sekarang terlihat bahagia berkat kehadiran sang putri yang secara misterius muncul di desa kecil ini. Memang benar sejak kehadiran Altheria, Alex yang semula selalu terlihat murung dan menyendiri semenjak ditinggal Wallace yang pergi merantau ke ibukota, kini terlihat lebih ceria seperti dulu saat ia bersama kakaknya itu. Kegiatan sehari-hari yang biasa ia lewatkan sendiri tanpa kehadiran Wallace kini terasa lebih bahagia berkat kehadiran Altheria. Tak terasa sudah lebih dari sebulan sejak Altheria tinggal di rumah itu. Sudah seminggu terakhir berita tersebar yang menggemparkan seluruh negeri Novaron tentang hilangnya putri kerajaan itu. Sang raja, Rosario tak henti-hentinya menenangkan permaisurinya, ratu Marriette yang menangis hampir setiap hari semenjak mendengar kabar putri satu-satunya menghilang secara tiba-tiba.

***

Altheria tak pernah mengungkapkan identitas diri yang sebenarnya pada keluarga itu karena ia takut jika mereka mengetahuinya, mereka akan langsung memulangkannya ke istana kerajaan. Ya, Altheria sedang tidak ingin pulang ke istana, ia ingin berada di tempat yang bebas, jauh dari kekakuan, kemegahan, dan kemewahan yang membosankan di istana kerajaan yang terletak di Ibukota. Ia tidak ingin terus-terusan tinggal di dalam istana dimana sikap, tingkah laku, dan segala sesuatu yang ia lakukan harus sesuai dengan aturan dan etika kerajaan. hal itu membuat Altheria merasa tertekan, ia merasa menjadi seorang putri di suatu kerajaan adalah sesuatu yang berat baginya, maka dari itu ia merencanakan sebuah "kunjungan" ke pulau dandelia dengan alasan ia ingin melihat padang bunga dandelion yang terkenal sangat indah. Ia memelas kepada ayahnya bahwa ia ingin berkunjung kesana. Meskipun awalnya sang raja, Rosario tidak menyetujui permintaan putrinya itu dengan alasan ia khawatir jika nanti terjadi sesuatu yang tidak diinginkan terjadi pada putri semata wayangnya itu, tapi pada akhirnya ia terpaksa mengalah dan menyetujui permintaan Altheria setelah melihat wajah putrinya itu berlinang air mata, Rosario menyetujuinya dengan syarat ia harus terus berada didalam pengawasan Gorrad; pengawal pribadinya. Altheria pun senang mendengar penyetujuan dari ayahnya meski ia sedikit kesal karena Gorrad harus terus mengawasinya. Akhirnya Altheria pun pergi ke pulau dandelia dengan ditemani Gorrad sang pengawal pribadinya. airship tersebut berlayar selama lebih dari satu minggu menuju pulau dandelia. Pada saat airship kerajaan yang ia tumpangi berlabuh di pelabuhan kraetern, Altheria langsung masuk ke dalam kerumunan orang-orang yang berdesakan untuk melarikan diri dari pengawasan Gorrad. Tubuh Gorrad yang tinggi besar dan kekar membuatnya kesulitan bergerak diantara kerumunan itu sehingga ia tidak bisa mengejar Altheria yang berada di antara kerumunan orang-orang itu, Gorrad pun kehilangan jejak Altheria. Altheria yang merasa sudah tidak diikuti lagi oleh Gorrad langsung menaiki kereta kuda umum yang ada di jalan setapak dekat gerbang masuk pelabuhan. Kereta kuda itu pun langsung pergi ke padang bunga dandelion sesuai dengan permintaannya. Setelah ia tiba di padang dandelion, ia memberikan beberapa keping emas Realmis yang membuat sang kusir terlonjak kegirangan sebelum ia turun dari kereta itu. Saat ia turun dari kereta kuda itu, ia melihat seorang anak laki-laki berambut kecoklatan yang seumuran dengannya sedang berbaring santai di bawah salah satu pohon di antara hamparan dandelion.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pembaca yang baik adalah pembaca yang selalu meninggalkan komentar (^o^)